WONG JOWO IN THE BLOG MENGUCAPKAN "SELAMAT TAHUN BARU MASEHI 2018", SEMOGA DITAHUN BARU INI GUSTI ALLAH SWT,BANYAK BERKAH DAN BAROKAH, SEHINGGA MENAMBAH KESEMPURNAAN HIDUP DAN IBADAH KITA, AMIN YA RABBAL ALAMIN

Wednesday, May 31, 2017

BLANGKON "TOPI JAWA"

pakaian lengkap jawa
Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional masyarakat Jawa.  yang merupakan bentuk praktis dari iket (pengikat) kepala. Sebab, pada zaman dulu, penutup kepala ini hanya berupa kain iket (ikat) yang terbuka di bagian atasnya. Iket bahkan sudah dikenal di awal terbentuknya budaya Jawa. Dalam legenda tentang Aji Saka, iket bahkan memiliki peran besar ketika Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar -seorang raksasa penguasa tanah Jawa. Sebutan Blangkon berasal dari kata blangko, istilah yang dipakai masyarakat Jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai. Menurut wujudnya, blangkon dibagi menjadi 4: blangkon Ngayogyakarta, blangkon Surakarta, blangkon Kedu, dan Blangkon Banyumasan. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon. sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Blangkon Surakarta mondholannya trepes atau gepeng sedang mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.

Kebiasaan pemakaian iket ini mulai berubah ketika agama Islam masuk ke Tanah Jawa. Ajaran Islam yang menganjurkan para lelaki untuk menutup seluruh bagian kepala akhirnya melahirkan iket yang lebih rapi dalam menyembunyikan rambut panjang mereka, namun cara memakainya sangat rumit.
“Sebelum mengenakan iket, mereka harus menggelung atau menguncir rambut ke belakang. Kemudian iket dilipat hingga menutupi kepala sampai sebatas dahi dan atas telinga,” kata Ranggajati Sugiyatno, pakar blangkon di Solo. Ranggajati menambahkan kain iket ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 105 cm x 105 cm. Namun, kain yang digunakan sebenarnya hanya separo. Sebab, ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. 

Pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa. Menurut Wakil Pengageng Sasono Wilopo Kraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Pangeran Winarno Kusumo, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis, yaitu keturuan Cina dari daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat yang merupakan keturunan Arab. Orang-orang Gujarat yang selalu mengenakan sorban -kain panjang dan lebar yang diikatkan di kepala- inilah yang kemudian member inspirasi orang Jawa untuk mengenakan iket.

Dalam perkembangannya, blangkon yang lahir setelah iket pun memberi tempat untuk gelung atau kuncir.“Namanya mondholan, yaitu tonjolan kecil di bagian belakang blangkon (Jawa). Jadi mondholan itu untuk tempat gelungan, bukan sebagai representasi karakter orang Jawa yang suka berbaik-baik di depan, tetapi nggrundel atau menyimpan perasaan, di belakang,” jelas Ranggajati yang sudah puluhan tahun menekuni pembuatan blangkon. Tentu saja, bentuk blangkon tidak pernah seragam di setiap daerah. Di Jawa, terdapat tiga jenis blangkon, yaitu: blangkon kejawen, pasundan, dan pesisiran. Jenis blangkon kejawen umumnya dipakai di daerah Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, dan Malang.

Secara keseluruhan penempatan blangkon dikepala merupakan anjuran agar segala pemikiran yang dihasilkan dari kepala tersebut selalu membawa nilai-nilai keislaman. Dalam artian sebebas apapun pemikiran yang dihasilkan oleh otak, agama islam selalu menjadi mainstream. Jadi, segala pemikirannya akan berguna bagi orang banyak, tidak malah menyengsarakan. Juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana islam yang rahmatan lil’alamin. 

Ranggajati melanjutkan blangkon juga sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon.

“Pada zaman dulu, orang-orang Jawa banyak yang memakai blangkon karena kesadaran mereka sebagai hamba Tuhan dan khalifah di bumi. Zaman sekarang, banyak yang mengenakan blangkon karena mengikuti mode.”

Pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh para seniman keraton dengan pakem (aturan) yang baku. Seperti halnya keris dan batik. Semakin blangkon yang dibuat memenuhi pakem, maka blangkon itu akan semakin tinggi nilainya.

Menurut Ranggajati, seorang pembuat blangkon membutuhkan virtuso skill atau keahlian keindahan. Keindahan blangkon, lanjut Ranggajati, selain dilihat dari pemenuhan pakem juga cita rasa sosial. Apalagi pakem blangkon sesungguhnya bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para pemakainya.

“Dalam blangkon itu terksimpan nilai-nilai kehidupan sehari-hari seperti keindahan, ketekunan, ketelitian, dan kesabaran."

Tentang keindahan, kesabaran, dan ketelitian itu, Ranggajati mencontohkan, sebuah blangkon yang bagus bias memiliki 14 hingga 17 wiru (lipatan) yang rapi di kanan-kiri. Tanpa kesabaran dan ketelitian yang besar, sangat mustahil blangkon tersebut bisa diselesaikan. Keindahan blangkon juga bias dilihat dari kain batik selebar 105cm x 105cm sebagai bahan dasar blangkon.

Blangkon yang bagus, tentu bahan dasarnya juga harus bagus. Salah satunya kain yang dibatik tulis, bukan batik cap apalagi printing. Jangan heran jika harga satu “topi Jawa” terbaik harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. JIka memiliki niali sejarah, harganya bias lebih mahal lagi.

“Seperti halnya keris dan batik, semakin indah dan bersejarahnya blangkon akan membuat harganya semakin mahal,” ujar Ranggajati yang memiliki usaha busana tradisional Jawa di kawasan Keprabon, Solo.

Perbedaan blangkon
Berikut perbedaan blangkon yogjakarta dan surakarta :

1. Blangkon Yogyakarta
Blangkon gaya Yogyakarta mempunyai mondolan pada bagian belakang blangkon. Hal ini dirunut sejarah pada waktu itu laki-laki Yogya memelihara rambut panjang kemudian diikat keatas, kemudian ikatan rambut disebut gelungan kemudian dibungkus dan diikat, lalu berkembang menjadi blangkon.
Mondolan dibelakang juga dikaitkan dengan filosofi masyarakat jawa yang pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertutur kata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa.
Dapat juga diartikan masyarakat Yogya pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib, akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya menangis. Dalam pikirannya hanyalah bagaimana bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri.
Khusus untuk Yogyakarta, blangkon kejawen dibedakan menjadi gaya utara dan selatan. Sementara dari bentuknya terdiri dari jebehan, cepet, waton, dan kuncungan. Perbedaan inilah yang kemudian melahirkan motif-motif blangkon, seperti adimuncung, tumpangsari, kuncungan, jeplakan, tempen, solomuda, pletrekan, solobangkalan, prebawan, tutup liwet, dan lain sebagainya
2. Blangkon Solo
Masyarakat Solo waktu itu lebih dulu mengenal cukur rambut karena pengaruh belanda, dan karena pengaruh belanda tersebut mereka mengenal jas yang bernama beskap yang berasal dari beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan.
Tidak adanya tonjolan pada blangkon hanya diikatkan jadi satu dengat mengikatkan dua pucuk helai di kanan dan kirinya mengartikan bahwa untuk menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orang jawa.
Sedangkan untuk daerah Surakarta muncul beberapa jenis blangkon lagi, yaitu wironan atau mataraman, iket krepyak dan trepes.
3. Blangkon Kedu

Blangkon Kedu
Blangkon Kedu berasal dari daerah Jawa Tengah dengan berbentuk agak terepes, bagian atas tertutup dan memiliki pola batik terang khas Kedu.
4. Blangkon Banyumasan
Blangkon Banyumasan memiliki corak yang hampir mirip dengan batik Pekalongan. Sebagian besar memadukan kombinasi batik tulis dengan warna yang eksotis. Namun sayang, pengrajin blangkon Banyumasan ini tidak lagi setenar dan seproduktif blangkon Ngayogyakarta atau Surakarta. Meskipun begitu, masih ada pengrajin blangkon Banyumasan yang masih mempertahankan kekayaan tradisi Jawa ini, dia adalah Kaswanto. Dikenal sebagai seorang pioneer di dunia pengrajin blangkon banyumas. Terdapat beberapa jenis dan model blangkon yang diproduksinya, mulai dari blangkon khas Jawa Tengah sampai Jawa Timuran dan Bali. 
Sumber : Wikipedia Indoesia; Kesolo.com; ranggajati(penggrajin blangkon) 

No comments:

Post a Comment